Maafkan Aku Bila Aku Mengeluh
Hari ini, di sebuah perhentian bas, aku melihat seorang remaja tampan dengan rambut sedikit ikal. Aku iri melihatnya. Dia tampak begitu ceria, dan aku sangat ingin memiliki ghairah hidup yang sama. Tiba-tiba dia terhuyung-huyung berjalan. Dia mempunyai satu kaki saja, dan memakai tongkat besi. Namun ketika dia melewatiku .... dia tersenyum. Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku.
Aku berhenti untuk membeli minuman. Anak laki-laki penjualnya begitu mempesona. Aku berbicara padanya. Dia tampak begitu gembira. Seandainya aku terlambat sampai ke rumah, tidaklah apa-apa. Ketika aku pergi, dia berkata, 'Terima kasih, engkau sudah begitu baik.
Menyenangkan hatiku berbicara dengan orang sepertimu. Lihatlah, aku buta.' Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.
Lalu, sementara berjalan. Aku melihat seorang anak dengan bola mata biru. Dia berdiri dan melihat teman-temannya bermain bola sepak. Dia tidak tahu apa yang boleh dilakukannya. Aku berhenti sejenak, lalu berkata, 'Mengapa engkau tidak bermain dengan yang lain ?' Dia memandang ke depan tanpa bersuara, lalu aku tahu dia tidak bisa mendengar. Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku.
Dengan dua kaki untuk membawaku ke mana yang aku mahu. Dengan dua mata untuk memandang mentari dan segala ciptaan. Dengan dua telinga untuk mendengar desiran angin dan segala bunyi.
Ya Allah, maafkan aku bila aku mengeluh.
Hachiko, the Faithful Dog
In 1934, a bronze statue of a dog called Hachiko was erected at the Shibuya Train station in Tokyo, Japan. The story of this dog is mentioned below.
Hachiko was born in 1923 and was owned by Eisaburo Ueno, a professor in the agriculture department at the University of Tokyo. The professor used to take a train from the Shibuya Station every day to go to the university. Each day Hachiko accompanied the professor to the train station when he left for work. Upon returning, the professor would find the dog patiently waiting for his master and wagging its tail. This happy routine continued until one fateful day in 1925, when the professor was taken ill on the job and unfortunately died before he could return home. As usual, the dog waited at the train station that day for his master to return back. However, seeing that he wasn’t coming back, Hachiko waited till night fell and retuned back home. The next day Hachiko went back to the train station again, waiting for his master to come back. He patiently waited till sunset and then retuned back home. The dog was so devoted to the professor that he continued to visit the train station everyday for the next 10 years! The people who passed the loyal dog each day were so touched by his story that they erected a statue in his honor in 1934.
In 1935, Hachiko died at the very same spot where he used to wait for his master.
Dear readers, we should take a lesson from this story for ourselves. By reciting the kalimah of Tauhid, all of us have taken an oath to be loyal to our Master, Allah. Now, we should look deep into ourselves and check to see how much love we really have for Allah in our hearts.
No comments:
Post a Comment